Dagang martabak sepi pembeli, Haji Radji kemudian jualan bubur ayam yang disukai pelanggan.
Oleh Melan Eka Lisnawati | 19 Des 2022
Sebagai kawasan wisata di ibu kota Jakarta, Cikini terkenal akan kuliner legendaris. Di sana kita bisa menemukan beragam makanan yang siap memanjakan lidah. Salah satunya kedai Bubur Cikini H.R. Sulaiman. Sebelum jualan bubur ayam, awalnya pemiliknya jualan martabak.
"Awalnya jualan martabak dulu, tapi sepi dan pembelinya hanya orang dewasa. Pak Haji pun memilih jualan bubur yang bisa dikonsumsi berbagai kalangan usia," ujar Nurhayati (20), seorang kasir di kedai Bubur Ayam H.R. Sulaiman.
Bubur merupakan hidangan yang mendapat pengaruh dari kuliner bangsa Cina, yaitu congee atau conjee yang artinya bubur nasi. Bubur yang paling populer dan menjadi ciri khas kuliner di beberapa daerah ialah bubur ayam.
Menurut Murdijati Gardjito, dkk. dalam Makanan Tradisional Indonesia seri 3, bubur ayam sudah dikenal sejak era Kaisar Shih Huang Ti (238 SM). Kaisar menghadapi masalah pangan akibat kemarau panjang. Ia berpikir keras mencari alternatif makanan agar rakyat dan prajurit tidak meninggal karena kelaparan. Revolusi pertanian tidak memungkinkan karena membutuhkan waktu lama.
Pada suatu hari, Kaisar tidak sengaja melihat nasi yang disantap melunak setelah disiram kuah sayur yang panas. Kaisar pun mendapat ide untuk melunakkan nasi agar dapat menghasilkan hidangan nasi yang lebih banyak dan dapat dimakan oleh rakyat dan prajurit.
Setelah melakukan percobaan berkali-kali, akhirnya ditemukan cara untuk membuat hidangan beras encer yang kemudian disebut bubur. Bubur tersebut kemudian dimasak massal, dicampur dengan kuah sayur dan kaldu ayam. Masalah pangan pun teratasi dengan bubur ayam.
"Sejak saat itu, bubur dianggap sebagai simbol persatuan dan keharmonisan karena mampu mengenyangkan semua rakyat secara merata," tulis Murdijati Gardjito, dkk. Meskipun demikian, secara macam bubur tidak boleh disajikan pada hari raya Imlek karena bubur juga diartikan sebagai lambang kemiskinan dan kesusahan.
Bubur ayam kemudian menyebar termasuk ke Nusantara dibawa oleh para imigran Cina. Orang-orang Tionghoa yang pandai berdagang menjajakan bubur ayam kepada masyarakat setempat. Sehingga bubur ayam berkembang hampir di setiap daerah di Indonesia. Pedagangnya pun tidak hanya orang Tionghoa, tetapi juga penduduk bumiputera, seperti Bubur Ayam Cikini H.R. Sulaiman.
Burcik, sebutan akrab Bubur Ayam Cikini H.R. Sulaiman, buka sejak tahun 1960-an. Pemiliknya Haji Radji, seorang pedagang asal Cirebon, yang memiliki keturunan India. Karena jualan martabak sepi peminat, ia kemudian melihat bubur ayam khas Cina yang sangat digandrungi masyarakat. Ia pun mulai berinovasi mencari resep bubur ayam yang enak, unik, halal, dan cocok di lidah orang Indonesia.
Awalnya Haji Radji menjajakan bubur ayam secara keliling. Ia kemudian hijrah ke Jakarta. Berkat ketekunan dan kegigihannya, bubur ayam yang awalnya modifikasi bubur ayam Cirebon pun disukai pelanggan.
Bubur Ayam Cikini H.R. Sulaiman. (Melan Eka Lisnawati/Historia.ID).
Pada 1990-an, Haji Radji membuka kedai Bubur Ayam Cikini H.R. Sulaiman di lokasi strategis, yaitu di Jl. Cisadane, Menteng, Jakarta Pusat, serta berada di perempatan jalan yang menghubungkan Stasiun Cikini, Pasar Antik, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.
Penambahan nama Sulaiman memiliki filosofi dan keberuntungan bagi Haji Radji. Nama Sulaiman diberikan oleh seseorang ketika ia melakukan ibadah haji ke Mekkah. "Pak Haji waktu itu ketemu orang di Mekkah terus bilang pakai nama Sulaiman biar tambah laku jualannya," kata Nurhayati.
Kedai Bubur Ayam Cikini H.R. Sulaiman buka setiap hari pukul 06.00-23.00 WIB. Selalu dipadati pengunjung mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga manula. Bahkan, tak jarang turis mancanegara datang mencicipi kelezatan burcik ini.
Masih di kedai yang sama, terdapat kopi Cikini yang baru buka setahun belakangan. Tak lupa menu lain seperti mie goreng, roti canai, martabak, dan siomay yang dapat dijadikan pilihan.
Dilihat dari bentuknya, burcik memiliki tektur seperti bubur ayam pada umumnya. Tetapi, berwarna putih gading karena campuran rempah-rempah. Ketika disajikan aroma dari rempah terutama jahe menyeruak menusuk hidung. Sedangkan untuk plating burcik, terdapat topping di atas bubur yang terdiri dari suwiran ayam, tongcai, cakwe yang dihaluskan, dan emping. Di meja tersedia kecap, sambal, dan lada sebagai pelengkap.
"Jadi burcik ini tidak pakai kuah dan rasanya tetap ada dari buburnya langsung. Kreasi topping-nya pun menarik, beda dari yang lain," ujar Nurhayati.
Menu burcik telur dapat menjadi pilihan bagi yang suka dengan rasa yang menantang. Sebab burcik yang satu ini istimewa dengan ditambahkan kuning telur sehingga memberikan sensasi rasa yang berbeda dari menu lainnya. Semua menu di Bubur Ayam Cikini H.R. Sulaiman ramah di kantong.
Untuk menjaga rasanya, burcik dimasak oleh pelayan yang sudah lama bekerja dengan resep langsung dari anak Haji Radji. "Sekarang masaknya khusus di mes atau tempat tinggal karyawan. Kebetulan sekarang sudah dipegang oleh generasi ketiga yaitu Ibu Widya," ujar Nurhayati.
Sayangnya, kata Nurhayati, resep burcik banyak di copy-paste oleh karyawan yang sudah keluar. Kendati demikian, ia berharap burcik tetap menjadi pilihan pelanggan.
Penulis adalah mahasiswa magang dari Politeknik Negeri Jakarta.
Penulis: Melan Eka Lisnawati
Bahan ini telah di unggah di media Historia.ID
Link: https://historia.id/kultur/articles/lezatnya-sejarah-bubur-cikini-P1oE0



0 Komentar